Sabtu, 20 Juli 2013

KENYANG

kenyang
Akhh, rasanya baru kemarin. Ternyata, sudah 19 tahun yang lalu. Bobot tubuh saya bertambah, 10 kg. Dari 63 kg saat menikah, kini menjadi 73 kg. Pertambahan yang signifikan. Sebab menurut BMI (Body Mass Index) sudah masuk kategori obes alias kegemukan. Walau istri saya bilang masih kurus, masih pantes untuk nambah berat badan lagi maksudnya, terus terang saya terobsesi untuk kembali mempunyai bobot ideal di angka 70 kg atau kurang.

Sebenarnya secara keseluruhan kesehatan masih oke punya, tak ada keluhan berarti. Hanya kolesterol yang perlu dikontrol dengan baik dibarengi olah raga yang cukup. Pola dan menu makan yang perlu dirubah sebagai antisipasi kandungan darah dan kontrol berat badan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah kenapa sampai usia kepala empat masih dijajah nafsu makan yang berlebih. Buktinya, BB (berat badan) yang terus meningkat dan nafsu makan yang tiada matinya melihat gelimpah makanan, apalagi kalau itu gratis.

Dalam perjalanan waktu dan dalam kerangka instrospeksi diri, seolah dipermalukan oleh perut yang terus membuncit, badan yang melar dan nafsu yang terumbar, terbersit kesadaran yang mendalam. Semakin hari semakin menguat dalam tekad yang bulat menuju gerakan menyayangi diri.  Menyuguhkan yang dibutuhkan dan memberikan seperlunya untuk memenuhi hak-hak diri. Tak berlebih. Tak kurang. Secukupnya. Sebab dibalik itu semua telah menunggu saatnya beribadah dengan paripurna. Apalagi kalau mengingat sabda Rasulullah SAW. Dari Miqdam bin Ma’dikarib ra. menyatakan pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda; “Tiada memenuhi anak Adam suatu tempat yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah untuk anak Adam itu beberapa suap yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika tidak ada cara lain, maka sepertiga (dari perutnya) untuk makanannya, sepertiga lagi untuk minuman dan sepertiganya lagi untuk bernafas.” (Riwayat At-Tirmidzi dan Al-Hakim)

Jelas walau bukan larangan, sepenuhnya saya tidak bisa mengikuti ajaran mulia di atas. Kadang sudah bersendawa, tanda 1/3 udara di perut sudah setara, masih saja terus nambah dan nambah. Susah menghentikannya. Dan kadang tidak lagi tegak tulang punggung ini sehabis makan. Yang ada justru  kepenuhan dan susah bergerak karena kekenyangan. Dan suka sembelit, sebagai tanda kurang minum, kebanyakan makanan. Walau jenis makanan yang dimakan halal adanya, tapi berhati-hatilah ketika batas proporsional tidak lagi diindahkan. Allah berfirman, ''Makan dan minumlah, tapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak senang terhadap orang yang berlebih-lebihan.'' (QS Ala'raaf [7]: 31).

Dikisahkan Nabi Yahya AS berjumpa iblis yang sedang membawa alat pancing. Bertanya Yahya AS, ''Untuk apa alat pancing itu?'' ''Inilah syahwat untuk mengail anak Adam.'' ''Adakah padaku yang dapat kau kail?'' Iblis menjawab, ''Tidak ada, hanya pernah terjadi pada suatu malam engkau makan agak kenyang hingga kami dapat menggaet engkau sehingga berat untuk mengerjakan shalat.'' Yahya AS terkejut. ''Kalau begitu aku tak akan mau kekenyangan lagi seumur hidupku.''

Kekenyangan membuat tubuh menjadi malas bergerak. Mengerjakan ibadah jadi berat, sehingga mudah bagi iblis membisikkan tipu dayanya. Tidak kekenyangan saja malas beribadah, apalagi kekenyangan. Tidak kekenyangan saja malas bangun malam, apalagi kekenyangan. Pasti bablas. Sebab tanpa kita sadari kekenyangan membuat otak pun menjadi tidur, ditandai serangan kantuk yang menghebat, tubuh jadi gemuk karena berlebihan asupan, dan lemak menumpuk-numpuk karena kurang gerak pembakaran. Itulah kombinasi yang sempurna.

Imam Ghazali dalam Al-Ihya, mengutip ucapan Abu Bakar Shiddiq RA dalam hal ini, ''Sejak aku memeluk Islam, belum pernah aku mengenyangkan perutku karena ingin dapat merasakan manisnya beribadah, dan belum pernah aku kenyang minum karena sangat rindunya aku pada Ilahi.''

Makan sampai kenyang memang diperbolehkan. Hukum asalnya boleh, namun jika keseringan dan akibatnya memudharatkan, maka akan jatuh kepada israf atau berlebih-lebihan. Hadis riwayat Ibnu Umar ra. dari Nabi SAW., beliau bersabda: “Orang kafir itu makan dalam tujuh usus sedangkan orang mukmin makan dalam satu usus.” (Shahih Muslim No.3839)

Dari Abu Hurairah ra, katanya: Ada seorang laki-laki yang biasanya banyak makan. Setelah masuk Islam, makannya sedikit. Hal itu diceritakan orang kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda: “Orang yang beriman makan untuk satu perut. Orang kafir makan untuk tujuh perut." (Shahih Bukhari)

Jelaslah bagi kita sekarang, mengapa atsar-atsar membenci tindakan berlebih-lebihan, dalam hal ini banyak makan bin kekenyangan. Di samping dari sisi kesehatan akibat banyak makan tentu bisa menimbulkan berbagai penyakit, banyak makan memberatkan pula seseorang untuk beribadah.  Apalagi di jaman sekarang ini, makan sudah menjadi bagian dari gaya hidup dan tujuan kesenangan serta gengsi. Walau banyak di sisi bumi lain orang yang kesulitan makan, di belahan lain kita mendapati sekumpulan orang yang susah menjumpai rasa lapar. Bahkan banyak di antara kita yang tidak mengenal lagi bagaimana indahnya rasa lapar itu. (FA)

from : http://www.ldii.or.id/