LDII Kabupaten Tasikmalaya

Ingatkanlah dan Jangan Lupa Untuk Selalu Ingat.

LDII Kabupaten Tasikmalaya

Ingatkanlah dan Jangan Lupa Untuk Selalu Ingat.

LDII Kabupaten Tasikmalaya

Ingatkanlah dan Jangan Lupa Untuk Selalu Ingat.

LDII Kabupaten Tasikmalaya

Ingatkanlah dan Jangan Lupa Untuk Selalu Ingat.

LDII Kabupaten Tasikmalaya

Ingatkanlah dan Jangan Lupa Untuk Selalu Ingat.

Minggu, 10 Januari 2010

BANGGA MENJADI IBU RUMAH TANGGA


Hebat rasanya ketika mendengar ada seorang wanita lulusan sebuah universitas ternama telah bekerja di sebuah perusahaan bonafit dengan gaji jutaan rupiah per bulan. Belum lagi perusahaan sering menugaskan wanita tersebut terbang ke luar negeri untuk menyelesaikan urusan perusahaan. Tergambar seolah kesuksesan telah dia raih. Benar seperti itukah?
Kebanyakan orang akan beranggapan demikian. Sesuatu dikatakan sukses lebih dinilai dari segi materi sehingga jika ada sesuatu yang tidak memberi nilai materi akan dianggap remeh. Cara pandang yang demikian membuat banyak dari wanita muslimah bergeser dari fitrohnya.
Beranggapan bahwa sekarang sudah saatnya wanita tidak hanya tinggal d rumah menjadi ibu, tapi sekarang saatnya wanita ‘menunjukkan eksistensi diri’ di luar. Menggambarkan seolah-olah tinggal di rumah menjadi seorang ibu adalah hal yang rendah.
Kita bisa dapati ketika seorang ibu rumah tangga ditanaya teman lama “Sekarang kerja dimana?” rasanya terasa berat untuk menjawab, berusaha mengalihkan pembicaraan atau menjawab dengan suara lirih sambil tertunduk “Saya adalah ibu rumah tangga”. Rasanya malu! Apalagi jika teman lama yang menanyakan itu “sukses” berkarir di sebuah perusahaan besar. Atau kita bisa dapati ketika ada seorang muslimah lulusan universitas ternama dengan prestasi bagus atau bahkan berpredikat cumlaude hendak berkhidmah di rumah menjadi seorang isteri dan ibu bagi anak-anak, dia harus berhadapan dengan “nasehat” dari bapak tercintanya : “Putriku! Kamu kan sudah sarjana, cumlaude lagi! Sayang kalau cuma di rumah saja ngurus suami dan anak.” Padahal, putri tercintanya hendak berkhidmat dengan sesuatu yang mulia, yaitu sesuatu yang memang menjadi tanggung jawabnya. Menjadi pendamping suami, mengurus rumah tangga.
Seorang ulama mengatakan, bahwa perbaikan masyarakat bisa dilakukan dengan dua cara : Pertama perbaikan secara lahiriah, yaitu perbaikan yang berlangsung di pasar, mesjid, dan berbagai urusan lahiriyah lainnya. Hal ini banyak didominasi oleh kaum lelaki, karena merekalah yang sering nampak dan keluar rumah. Kedua, perbaikan masyarakat di balik layar, yaitu perbaikan yang dilakukan di dalam rumah. Sebagian besar peran ini diserahkan pada kaum wanita sebab wanita merupakan pengurus rumah.
Pertumbuhan generasi suatu bangsa adalah pertama kali berada di buaian para ibu. Ini berarti seorang ibu telah mengambil jatah yang besar dalam pembentukan pribadi sebuah generasi. Ini adalah tugas yang besar! Mengajari mereka kalimat “Laa ilaha illallah, menancapkan tuhid ke dada-dada mereka, menanamkan kecintaan pada Al-Qur’an dan As Sunnah sebagai pedoman hidup, kecintaan pada ilmu, kecintaan pada Al-Haq, mengajari mereka bagaimana beribadah pada Allah yang telah menciptakan mereka, mengajari mereka akhlak-akhlak mulia, mengajari mereka bagaimana menjadi pemberani tapi tidak sombong, mengajari mereka untuk bersyukur, mengajari bersabar, mengajari mereka arti disiplin, tanggung jawab, mengajari mereka rasa empati, menghargai orang lain, memaafkan dan masih banyak lagi.
Termasuk di dalamnya hal yang menurut banyak orang dianggap sebagai sesuatu yang kecil dan remeh, seperti mengajarkan kepada anak adab ke kamar mandi. Bukan hanya sekedar supaya anak tau bahwa masuk kamar mandi itu dengan kaki kiri, tapi bagaimana supaya hal semacam itu bisa menjadi kebiasaan yang lekat padanya. Butuh ketelatenan dan kesabaran untuk membiasakannya.
Siapa yang menanam dia akan menuai benih.
Bagaimana rasanya hati seorang ibu melihat anak-anaknya tumbuh? Ketika tabungan anak kita menumpuk,lalu kita bertanya “Mau untuk apa nak, tabungannya?” mata rasanya haru ketika anak menjawab “Mau buat beli CD murotal, Ma!” Padahal anak-anak lain kebanyakan akan menjawab “Mau buat beli PS!” atau ketika ditanya tentang cita-cita, “Adek pengen jadi ulama!” haru endengar jawaban ini dari seorang anak, tatkala anak-anak seusianya bermimpi “Pengen jadi superman!”
Jiwa seperti ini bagaimana membentuknya? Butuh seorang pendidik yang ulet dan telaten. Bersungguh-sungguh, dengan tekad yang kuat. Seorang yang sabar untuk seetiap hari menempa dengan dibekali ilmuyang kuat. Penuh dengan tawakal dan bergantung pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu, jika seperti ini, bisakah kita begitu saja menyerahkan masa depan anak-anak kepada pembantu, atau embiarkan anak tumbuh begitu saja?
Setelah kita memahami besarnya peran dan tanggung jawab seorang ibu sebagai seorang pendidik, melihat realita yang ada sekarang, sepertinya keadaannya menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu yang sibuk bekerja dan tidak memperhatikan bagaimana pendidikan anak mereka. Tidak memperhatikan bagaimana aqidah mereka, apakah terkotori dengan kehidupan yang rusak di akhir zaman atau tidak. Bagaimana ibadah mereka, apakah sholat mereka sudah benar atau tidak, atau malah tidak mengerjakannya?
Bagaimana mungkin pekerjaan menancapkan tauhid di dada-dada generasi muslim bisa dibandingkan dengan gaji jutaan rupiah di perusahaan bonafit? Sungguh! Sangat jauh perbandingannya.
Anehnya lagi, banyak ibu-ibu yang tinggal di rumah namun tidak juga mereka memperhatikan pendidikan anaknya, bagaimana kepribadian anak mereka dibentuk. Penulis sempat sebentar tinggal di daerah yang sebagian besar ibu-ibunya menetap di rumah tapi sangat acuh dengan pendidikan anak-anak mereka. Membesarkan anak seolah hanya sekedar memberinya makan.
Padahal anak adalah investasi bagi orang tua di dunia dan akhirat! Setiap upaya yang kita lakukan demi mendidiknya dengan ikhlas adalah suatu kebajikan. Setiap kebajikan akan mendapat balasan pahala dari Allah swt. Tidak inginkan hari kita terisi dengannya? Ataukah yang kita inginkan adalah hanya kesuksesan karir anak kita. Meraih hidup yang berkecukupan, cukup untuk membeli rumah mewah, cukup untuk membeli mobil mentereng, cukup untuk membayar 10 pembantu, berakhir pecan di villa. Tanpa memperhatikan bagaimana aqidah, bagaimana ibadah, asal tidak bertengkar dan bisa senyum dan tertawa ria di rumah, disebutlah itu dengan bahagia.
Ketika usia mulai senja, mata mulai rabun, tulang mulai rapuh, atau tubuh ini hanya mampu berbaring dan tak bisa bangkit dari ranjang untuk sekedar berjalan. Siapa yang mau mengurus kita kalau kita tidak pernah mendidik anak-anak kita? Bukankah mereka sedang sibuk dengan karir mereka yang dulu pernah kita banggakan, atau mungkin sedang asyik dengan isteri dan anak-anak mereka?
Ketika malaikat maut telah datang, ketika jasad telah dimasukkan ke kubur, ketika diri sangat membutuhkan do’a, padahal pada hari itu diri ini sudah tidak mampu berbuat banyak karena pintu amal telah ditutup, siapakah yang mendo’akan kita kalau kita tidak pernah mengajari anak-anak untuk berdo’a? lalu… masihkah kita mengatakan profesi ibu rumah tangga dengan kata ‘cuma’ dengan suara yang lirih sambil tertunduk malu dan?//**

Nuansapersada, Edisi Oktober 2008

Minggu, 03 Januari 2010

LDII Turut Berduka Cita atas Wafatnya Gus Dur



إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ
Segenap pengurus dan warga LDII turut berduka cita atas meninggalnya Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid), yang merupakan Presiden RI ke-4, Ulama Besar NU (Nahdatul Ulama) yang disegani, dan juga Bapak Guru Bangsa. Semoga arwah beliau diterima di sisi-Nya, semoga semua amal ibadah beliau diterima oleh-Nya, dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan dan kesabaran. Amiin